Problem Mata Uang Kertas (Fiat Money)
Kehancuran kapitalisme di Amerika, Eropa dan dunia Internasional tinggal tunggu waktu. Terlebih lagi bila triliunan US Dollar dana penyelamatan itu tak kunjung membuahkan hasil. Inflasi, resesi dan depresi terus mengancam seolah membuktikan bahwa teori-toeri ekonomi sekarang ini mulai terbukti kerusakannya dan tumbang satu-persatu.
Kehancuran perekonomian ini merupakan harga yang sangat mahal dari sebuah transaksi keserakahan terhadap mata uang kertas (fiat money) ala Amerika dan dunia Eropa. Rakus, tamak, serakah, loba yang dibungkus dalam sebuah sistem ekonomi dengan mengandalkan kekuatan US Dollar sebagai Tuhannya. Padahal secara fakta telah terbukti bahwa sistem ekonomi (berdasarkan fiat money) tersebut mengandung banyak permasalahan didalamnya. Berikut beberapa problem mata uang kertas (fiat money).
Ajang Bisnis Menggiurkan
Dikarenakan ada selisih nilai didalam mata uang kertas (fiat money) antara nilai instrinsik dan nilai nominalnya, maka pastilah ada pihak yang akan diuntungkan. Dalam konteks bisnis, pencetakan mata uang kertas (fiat money) merupakan bisnis yang sangat menggiurkan. Bayangkan saja dalam sebuah ilustrasi, jika anda membuat sebuah produk A dengan biaya total produksi hanya Rp 400. Kemudian Produk A tersebut dijual seharga Rp 1.000, maka sudah untung Rp 600. Lantas kalau dijual seharga Rp 10.000, maka akan untung Rp 9.600. Atau bahkan kalau dijual seharga Rp 100.000, maka akan untung Rp 99.600. Coba bayangkan jika anda mencetak 1000 lembar uang RP 100.000, berapa keuntungan akan anda peroleh ?. Semakin tinggi anda menjualnya (angka nominalnya) maka keuntungan semakin banyak, karena berapapun anda jual, total biaya produksi tetap sama yaitu Rp 400 perlembar.
Dalam pencetakan mata uang US Dollar, nilai instrinsiknya sekitar 4 sen perlembar. Sedangkan nilai nominalnya bisa bervariasi, dari mulai $1, $ 10, atau bahkan $ 100. Dengan nilai nominal yang bervariasi tersebut, biaya Instrinsiknya tetap sama yaitu 4 sen. Kalau The Fed mencetak dengan nominal US $ 100 per lembarnya, padahal nilai sebenarnya cuma 4 sen, berapa keuntungan perlembarnya ?. Ternyata Amerika telah mencetak uang dengan nominal US $ 100 berlembar-lembar dan disebar ke seluruh penjuru dunia. Maka bisa dibayangkan, dengan pola bisnis seperti ini Amerika meraup keuntungan yang sangat besar. Bentuk keuntungan tersebut, kompensasinya Amerika mendapatkan begitu banyak komoditi barang dari berbagai negara yang menggunakan dollar. Hal ini sungguh bisnis yang sangat menggiurkan.
Amerika menikmati pendapatan yang luar biasa besar dari penciptaan mata uang dollar dengan hanya mengandalkan seignorage (selisih biaya cetak atau biaya produksi dengan nilai yang tertera di mata uang/nilai nominal). Keuntungan tersebut semakin besar didapatkan Amerika, ketika semakin banyak negara mensirkulasikan untuk kebutuhan transaksinya. Inilah bisnis abad ini yang sangat menggiurkan sekali. Cuma berbekal selembar kertas mirip kwarto dan sebotol tinta warna serta sebuah mesin cetak mampu meraup keuntungan yang sangat banyak sekali.
Inflasi
Salah satu virus yang ditakuti para ekonom saat ini adalah inflasi yang tidak terkendali. Lantaran itu, Hayek yang meraih Nobel ekonomi tahun 1974, mengkritik keras penggunaan fiat money. Ia mengajukan proposal radikal untuk menghapuskan peran bank sentral dan pada saat yang sama menawarkan ide untuk menggunakan mata uang yang berbasis komoditi (commodity money) seperti emas…Hayek yakin pengguna mata uang akan bisa memilih mana dari mata uang yang beredar (Apakah fiat money atau commodity money) yang akan terus bertahan, lebih kompetitif, dan memuaskan keinginan para penggunanya.
Statmen yang dilontarkan Hayek tersebut, bisa dijabarkan dalam sebuah percontohan yang lebih gamblang sebagai berikut; seseorang meminjam Rp 13 juta dari kawannya, dan berjanji akan mengembalikan dalam jumlah yang sama 10 tahun kemudian. Tentu saja rekan tersebut akan menolaknya, karena nilai Rp 13 juta sekarang akan lebih berharga dibandingkan 10 tahun kemudian. Jika Rp 13 juta saat ini (tahun 2009) bisa untuk membeli setidaknya dapat 1 motor bebek merk Honda, tapi apa yang terjadi 10 tahun kemudian. Sangat mungkin uang Rp 13 juta tidak bisa untuk membeli 1 buah motor Honda lagi, bisa jadi cuma dapat untuk membeli 1 ban motor saja. Hal ini dikarenakan terkena dampak inflasi.
Bagaimana misal, bila uang Rp 13 juta tadi diganti dengan Dinar (1 Dinar = 1,3 juta rupiah pada tahun 2009, jadi kalau Rp13 juta sebanding dengan 10 Dinar). Pertanyaannya, apakah 10 Dinar sekarang lebih berharga dibandingkan 10 tahun yang akan datang?. Memang tidak ada yang bisa memastikan. Tetapi Dinar mempunyai kecenderungan terapresiasi terhadap mata uang kertas (fiat money) manapun. Dalam perbandingan dengan mata uang rupiah, terlihat pada bulan oktober 2003 nilai tukar 1 Dinar adalah Rp 450.000, tahun 2004 senilai Rp 540.000, tahun 2005 senilai Rp 652.000, 2006 senilai Rp 785.000, 2007 senilai 974.000, dan pada juli 2008 senilai Rp 1.150.000, 2009 bulan ini senilai Rp 1.330.000. Dengan kata lain mata uang kertas (fiat money) akan terus terancam inflasi dan mata uang Dinar terbukti terus terapresiasi.
Spekulasi
Aksi spekulasi dari pendekatan secara historis sudah terjadi semenjak beredarnya mata uang kertas yang tanpa di back up dengan emas. Setelah PD I sistem standar emas berakhir, mata uang dunia diganti oleh US Dollar. Baru setelah PD II, persoalan moneter mengarah menjadi sebuah sistem dunia, dengan dimulainya Sistem Bretton Woods. Ditandai dengan lahirnya IMF dan World Bank sejak 1944.
Sejak saat itu semua mata uang dunia berhubungan satu sama lain, dan dikaitkan dengan nilai US Dollar. Nilainya saat itu secara fixed setara dengan satu ounce emas sebanding dengan 35 Dollar. Baru pada awal 1970-an, ketika Richard Nixon menghentikan sistem fixed rate dollar, muncul fenomena sistem “pasar bebas” untuk uang. Jadi baru awal tahun 1970-an, metamorfosis mata uang kertas terjadi. Semula mata uang kertas difungsikan sebagai alat tukar semata, kemudian dijadikan sebagai alat komoditi yang sangat berharga untuk diperdagangkan. Kondisi seperti inilah yang menumbuh suburkan para spekulan dunia bermain kurs mata uang.
Dengan kejadian tersebut, aksi spekulan semakin menggila dan merobohkan bangunan ekonomi sebuah negara. Bayangkan saja, semenjak tahun 1970-an aksi spekulasi omsetnya sudah mencapai sekitar 15 milliar US Dollar. Pada periode 1980-an, saat kontrol mulai mengendor, omset tersebut meningkat empat kali lipat menjadi 60 milliar US Dollar. Dan sekarang, ketika pasar bebas semakin liberal, omset para spekulan diperkirakan mencapai 1,3 triliun US Dollar, alias melonjak lebih dari 20 kali.
Masih ingat dalam benak kita, krisis tahun1997-1998 yang menghancurkan perekonomian
Perampokan
Biasanya, sebuah negara mendapatkan pendanaan salah satunya dari memungut pajak dari rakyatnya. Namun bagi negara super power mereka memungut pajak dari negara-negara lainnya. Itulah berabad-abad yang lalu dikerjakan oleh Imperium Yunani, Romawi, bahkan Inggris Raya. Umumnya negara-negara lain tersebut menyerahkan upeti dalam bentuk emas dan perak. Dalam perjalannya, praktek ini semakin bermetamorfosis dalam bentuk yang lebih canggih lagi.
Namun, untuk pertama kalinya, Amerika Serikat pada abad ke-20 bisa memajaki negara-negara lain di dunia secara tidak langsung, melalui beban inflasi penciptaan mata uang dollar yang tidak di backed dengan emas. Mata uang dollar yang terdistribusi secara luas menempatkan Amerika pada tempat istimewa. Negara-negara lain harus berkeringat menyerahkan hasil buminya berupa minyak, rotan, kayu, emas, dll. Sementara sang super power cukup menukarkannya dengan uang kertas yang bisa dicetak kapan saja dengan nilai instrinsik yang tidak sebanding.
Resiko terjadinya inflasi karena pencetakan mata uang kertas (fiat money) yang melampaui batas, bisa dialihkan oleh Amerika ke beberapa negara yang lain. Caranya dengan memaksa negara-negara tersebut menggunakan mata uang dollar dalam setiap transaksinya serta menyimpannya dalam bentuk devisa negara. Dengan licik inflasi akan beralih dari Amerika ke negara-negara pengguna dollar Amerika.
Bayangkan saja, misal masyarakat
Minyak bumi, gas alam, kerajinan, hasil hutan, ikan, bahan-bahan mentah di ekspor ke Amerika, dan ditukar oleh Amerika cuma dengan beberapa lembar kertas bertuliskan
Kepercayaan Semu
Ketika muncul sebuah pertanyaaan, “Apa bedanya mata uang Rupiah dengan mata uang pada permainan monopoli ?”. Secara fisik tidak ada bedanya, mata uang rupiah ada gambarnya, ada angka nominalnya, ada warnanya. Sedangkan mata uang pada permainan monopoli juga sama, ada gambarnya, ada angka nominalnya, ada warnanya. Kalau memang secara fisik sama dan hampir serupa, lantas kenapa mata uang rupiah berharga dan bisa digunakan untuk transaksi jual beli, sedangkan mata uang monopoli tidak berharga sama sekali . Apa yang sebenarnya terjadi ?.
Jika dikaji lebih mendalam lagi, sebenarnya semua mata uang kertas (fiat money) tidak ada harganya, tidak jauh berbeda dengan uang-uangan pada permainan monopoli. Cuma pada kasus mata uang kertas (fiat money), setiap masyarakat dipaksa oleh kebijakan pemerintah melalui sebuah undang-undang untuk mau menerima mata uang kertas (fiat money).
Agar selembar mata uang kertas (fiat money) tersebut seolah-olah berharga, anda selaku masyarakat dipaksa untuk menerimanya. Pemerintah melarang siapa pun untuk menerbitkan dan mencetak uang kertas. Siapa saja yang berani mencetak uang kertas (selain bank sentral) maka akan diancam penjara bahkan dihukum mati. Sebagai masyarakat harus menerima kebijakan ini taken for granted, tidak boleh ada protes, demo, dan perlawanan dalam bentuk apapun. Pokoknya masyarakat harus menerima mata uang kertas (fiat money) ini. Titik !.
Inilah paksaan dari setiap Bank sentral di setiap negara kepada rakyatnya. Dikemudian hari menimbulkan kebodohan warganya untuk mau menerima mata uang kertas (fiat money) yang sebenarnya adalah mata uang bohong-bohongan. Inilah gambaran betapa arogannya dan otoriternya pemerintah melalui Bank sentral kepada rakyatnya dengan mengatasnamakan “kepercayaan kepada mata uang kertas” [].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar